By: DR. KH. Affandi Mochtar,
MA.
“Dzakara al-Syaykh
al-Imâm Abu Muhammad bin ‘Abd-i al-Salâm fî kitâbih-i al-Qawâ’id, anna al-bida’
‘ala khamsati aqsâm: wâjibah, wa muharramah, wa makrûhah, wa mustahabbah, wa
mubâhah. Wa qawluh-u wâjibah, wa min amtsilatihâ tadwîn al-Qur`ân wa
al-syarâ`i’ idzâ khîfa ‘alayh-i al-dhaya’...,”. [Al-‘Allamah Abu Bakar
al-Sayid al-Bakri bin al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’ânah
al-Thâlibîn].
Sekilas Sejarah Kodifikasi
al-Qur`an
Al-QUR`AN adalah kitab suci
umat Muslim sedunia, Muslim Arab dan non-Arab(‘ajam). Keberadaannya
merupakan penunjuk jalan (hud-an) umat Muslim dalam meraih keselamatan,
kesuksesan, dan kebahagiaan dunia-akhirat (al-sa’adah fî al-dârayn). Dan
bahasa al-Qur`an yang masih gelobal telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad baik
dengan ucapan verbal maupun dengan praktik aplikatif. Di samping, karakteristik
bahasa al-Qur`an yang gelobal mengandung ambiguitas makna yang tanpa batas,
yang diperbolehkan bagi umat Muslim yang kompeten menafsiri atau mentakwil
sehingga menghasilkan reproduksi makna yang kaya.
Dari sejarahnya, saat Nabi
Muhammad saw. mendapat wahyu Allah pada abad ke-7, al-Qur`an masih ditulis
secara manual oleh para sekretaris pribadinya di pelapah Kurma, kulit,
tulang-belulang, dan lempengan batu. Belum sempat dikumpulkan dan dikodifikasi
sedemikian rupa. Di sisi lain, al-Qur`an terjaga secara rapih dan komprehensif
di dalam dada-dada para sahabat yang hafal al-Qur`an. Para penghafal al-Qur`an
dengan setia terus menjaga hafalannya dengan cara membaca, melafalkan dan
men-deras-nya. Dan di kalangan para sahabat juga ada kelompok qurrâ` (para
pembaca al-Qur`an).
Pasca Nabi Muhammad, umat
Islam dipimpin oleh Abu Bakar al-Siddiq, seorang sahabat dekat Nabi, orang yang
pertama kali masuk Islam dari golongan laki-laki dewasa, mertua yang sayang
kepada menantunya (Nabi), dan pernah mendapatkan amanah sebagai pengganti Nabi
menjadi imam shalat jamaah. Pada masa kepemimpinannya, ada sebagian umat yang
membelot, tidak mau membayar zakat dan mengadakan pelarangan secara massif
kepada yang lainnya agar tidak membayar zakat. Dan gerakan ini dibendung oleh
Abu Bakar. Pendekatan persuasif sudah dilakukan dan gagal. Akhirnya jalan
keluar yang dilakukan adalah perang. Dalam peperangan inilah banyak menewaskan
para sahabat yang hafal al-Qur`an yang ada di bawah bendera Abu Bakar. Dengan
melihat fenomena itu, Umar bin al-Khatthab merasa resah dan khawatir jika
terus-terusan perang, maka para penghafal al-Qur`an sedikit demi sedikit tewas
tak tersisa dan al-Qur`an pun tak terselamatkan. Umar mengusulkan ke Abu Bakar
dan para sahabat senior agar al-Qur`an dikumpulkan dan dikodifikasi (tadwîn)
menjadi sebentuk kitab suci yang dapat dibaca. Meski pada awalnya ide Umar ini
terjadi pro dan kontra, namun melihat kemaslahatan yang lebih besar bagi umat
Islam akhirnya ide itu disepakati untuk direalisasikan. Dan al-Qur`an yang
dikodifikasi diberi nama al-Qur`an Abu Bakar al-Siddiq.
Meski al-Qur`an sudah
dikodifikasi, para sahabat masih menghargai perbedaan-perbedaan kecil baik
perbedaan bacaan atau tulisannya. Seperti al-Qur`an Ibn Mas’ud, dll., yang
secara bacaan dan tulisan berbeda. Bacaan antarsuku Arab berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan lahjah. Dan perbedaan dihargai. Barangkali inilah embrio
munculnya qirâ`ât (bacaan) al-Qur`an yang beragam yang sampai
sekarang terdapat tujuh bacaan (qirâ`ât sab’ah) atau bahkan empat belas
bacaan, yang diabadikan dalam kitab “Nazhm al-Syâthibîyyah”. Sedangkan
perbedaan rasm (tulisan) al-Qur`an di kalangan para sahabat telah diabadikan
oleh Imam al-Sajistsani dalam kitabnya “al-Mashâhif”.
Dan pada masa khilafah
Utsman bin Affan, keresahan muncul kembali berkaitan dengan sedemikian
banyaknya berbedaan tulisan dan bacaan al-Qur`an, yang dikhawatirkan akan
muncul perbedaan pendapat dan perpecahan umat Islam dikemudian hari. Apa yang
diharapkan adalah persatuan umat, dan persatuan dapat dicapai dengan syarat
kitab sucinya harus satu tidak boleh berbeda-beda. Dengan landasan pemikiran
ini, akhirnya khalifah ketiga Utsman bin ‘Affan yang memerintah pada tahun 644
– 665, ayat-ayat yang terkumpul ditulis kembali dan dihimpun dalam bentuk kitab
al-Qur`an yang diberi nama Mushaf ‘Utsmânîy atau yang dikenal sekarang
dengan al-Qur`ân Rasm ‘Utsmâniy.
Pada masa Abd al-Malik bin
Marwan wilayah kekuasaan Islam makin luas sehingga pemeluknya bukan saja orang
Arab. Sejak saat itu al-Qur`an disempurnakan dengan memberi tanda baca. Saat
itu pula berkembang perpaduan seni Islam dan seni lokal yang tertuang dalam
desain dan iluminasi al-Qur`an. Seni lokal itu antara lain Arab, Persia, Mesir,
Spanyol, Bizantium, India, Cina, termasuk Indonesia.
Mencetak al-Qur`an Dalam
Perspektif Syariat
Setelah umat manusia
menemukan teknologi percetakan. Cina pada abad ke-14 menemukan teknologi
percetakan yang masih manual—modern untuk zamannya. Dan selanjutnya Johann
Gutenberg pada tahun 1450 menemukan tekonologi percetakan yang lebih maju dari
Cina, dan buku yang pertama kali dicetak adalah Alkitab. Umat Islam pun menikmati
berkah dan manfaat dari percetakan dengan mereproduksi al-Qur`an
sebanyak-banyaknya. Bahkan percetakan yang sekarang sudah semakin modern,
seperti muncul internet, rekaman, CD, audio visual, dll, juga umat Islam
menggunakannya cukup maksimal untuk mensosialisasikan dan mendakwahkan
al-Qur`an.
Benar bahwa teknologi
percetakan yang berkembang sedemikian pesatnya tidak atau belum ada pada masa
Nabi Muhammad hidup. Bahkan kodifikasi al-Qur`an dilakukan pada masa pasca
Nabi. Kita tahu bahwa dalam historiografi bahasa Arab kuno pra-Islam, pada masa
Nabi sampai pasca Nabi masih belum ada bentuk huruf-huruf hijaiyah, dan belum
terbentuk seperti sekarang kita ketahui. Dan penulisan al-Qur`an dengan bahasa
Arab yang huruf-huruf hijaiyah berbentuk seperti sekarang ini baru ditemukan
oleh seorang ulama yang terkenal pakar bahasa Arab, pengagas pertama al-Mu’jam
bahasa Arab yang diberi judul Mu’jam al-‘Ayn, dan penemu rumus dan
teori notasi syair Arab (‘arûdh dan qawâfîy), yaitu Khalil bin Ahmad
al-Farahidi, sekitar abad ke-2 Hijriyah. Dengan ketekunan dan kepiawaiannya,
huruf-huruf Hija`iyah bahasa Arab bisa dibaca oleh siapa pun, baik orang Arab
atau non-Arab. Dan al-Qur`an selanjutnya ditulis dengan menggunakan pola
penulisan tersebut.
Lalu bagaimana pandangan
syariat dalam menyikapi persoalan percetakan al-Qur`an? Pertanyaan ini dirasa
perlu diajukan, sekurang-kurangnya ada beberapa sebab yang perlu dijelaskan dan
diluruskan. Dan sebab yang paling signifikan adalah adanya doktrin bahwa segala
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh dan pada masa Nabi adalah bid’ah yang
tidak boleh direalisasikan. Pencetak al-Qur`an karena itu adalah bid’ah sebab
Nabi sendiri tidak pernah melakukannya. Ada sebuah hadits yang sangat terkenal,
“Kullu bid’ah dhalâlah, wa kullu dhalâlah fî al-nar” (Semua bid’ah
adalah menyesatkan. Dan setiap yang menyesatkan akan menjerumuskan ke dalam
neraka). Hadits ini tidak bisa kita ambil dan ditelan mentah-mentah, harus
ditafsiri dengan tepat. Apa yang dimaksudkan hadits tersebut, dengan menggunakan
pendekatan mantiq, adalah ba’dh min kull (sebagian dari
keseluruhan), yang artinya tidak seluruh bid’ah adalah menyesatkan. Hanya
sebagian bid’ah saja yang menyesatkan, sedangkan sebagian yang lain tidak
menyesatkan bahkan ada yang diwajibkan. Dalam satu keterangan kitab kuning saya
kutipkan:
“Dzakara al-Syaykh
al-Imâm Abu Muhammad bin ‘Abd-i al-Salâm fî kitâbih-i al-Qawâ’id, anna al-bida’
‘ala khamsati aqsâm: wâjibah, wa muharramah, wa makrûhah, wa mustahabbah, wa
mubâhah. Wa qawluh-u wâjibah, wa min amtsilatihâ tadwîn al-Qur`ân wa
al-syarâ`i’ idz khîfa ‘alayh-i al-dhaya’...,”. [Al-‘Allamah Abu Bakar
al-Sayid al-Bakri bin al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi,I’ânah
al-Thâlibîn].
(...Syaikh
al-Imam Abu Muhammad bin Abd al-Salam menjelaskan dalam kitabnya, al-Qawa’id,
bahwa hukum bid’ah dapat dibagi menjadi lima: wajib, haram, makruh, sunnah, dan
mubah. Dan contoh bid’ah yang wajib dilakukan adalah tadwin(mengkodifikasi)
dan mencetak al-Qur`an atau mencetak disiplin ilmu-ilmu syariat, [yang kalau
tidak dicetak dan dikodifikasi] ditakutkan akan hilang..) Dengan mengacu pada
keterangan tersebut, maka mencetak al-Qur`an adalah bid’ah yang wajib
direalisasikan. Sudah barang tentu, percetakan al-Qu`ran tidak terbatas dan
monoton satu varian iluminasi dan satu gaya tulisan, bahkan absah juga dicetak
dengan berbagai macam varian iluminasi, ornamen dan tipe yang diinginkan sesuai
selera dan budaya yang pantas.
Mengagas Mushaf Cirebon
Indonesia yang tercatat
secara kualitas penduduk Muslimnya terbanyak di dunia. Dan Indonesia terdiri
suku-suku dan daerah yang memiliki kebudayaan dan kesenian lokal yang cukup
kaya. Di samping, kecintaan terhadap al-Qur`an tidak diragukan lagi tertanam
dalam pribadi umat Muslim. Salah satu buktinya adalah antosiasme masing-masing daerah
mencetak al-Qur`an dengan menggabungkan dan mengelaborasikan antara seni Arab
dan seni lokal setempat.
Di Jawa Barat, terdapat
cetakan al-Qur`an yang menjadi ciri khas Pusdai Jabar, yang dinamakan dengan
al-Qur`an Mushaf Sundawi, sebuah karya monumental mushaf yang iluminasi atau
ornamenya berasal dari motif Islami Jawa Barat, seperti mamolo mesjid, motif
batik, mihrab, dan artefak lainnya. Desainnya bersumber pada flora khas Jawa
Barat, seperti Gandaria dan Patrakomala.
Penulisan Mushaf Sundawi mengacu
dan tunduk pada kaidah baku ragam Utsmani dengan jenis tulisan atau Khat
Naskhi, Tsuluts, dan Kifi. Mushaf Sundawi ditempatkan pada peti yang didesain
khusus dan dipamerkan di ruang pameran Mushaf Sundawi di kompleks Pusdai Jabar.
Al-Qur`an tersebut disimpan di Galeri Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jawa Barat, jalan Diponegoro, Kota Bandung. Banyak orang belum mengetahui adanya al-Qur’an dengan hiasan motif Sunda. Mushaf Sundawi disimpan dalam tiga peti yang dilapisi emas dan berukir khas Sunda. Di dalam peti terdapat lembaran al-Qur’an besar. Sementara di dinding galeri juga terpajang beberapa ayat al-Qur`an yang memiliki iluminasi yang berbeda-beda.
Al-Qur`an tersebut disimpan di Galeri Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jawa Barat, jalan Diponegoro, Kota Bandung. Banyak orang belum mengetahui adanya al-Qur’an dengan hiasan motif Sunda. Mushaf Sundawi disimpan dalam tiga peti yang dilapisi emas dan berukir khas Sunda. Di dalam peti terdapat lembaran al-Qur’an besar. Sementara di dinding galeri juga terpajang beberapa ayat al-Qur`an yang memiliki iluminasi yang berbeda-beda.
Seni mushaf atau
memperindah kitab sudah dimiliki oleh masyarakat Indonesia seperti Aceh,
Sumatera Barat, pesisir Utara Jawa mulai dari Banten, Cirebon, Jawa Timur, dan
Madura. Dari kalimantan, Sulawesi, Ternate, dan daerah-daerah Islam lainnya
sudah dipastikan adanya mushaf tulisan tangan yang dihiasi iluminasi. Iluminasi
antara lain terdapat pada cover al-Qur`an dan bingkai ayat-ayat setiap lembar
al-Qur`an.
Pada tahun 1995,
berdasarkan surat keputusan Kepala Daerah Jawa Barat dibuat Mushaf Sundawi.
Inspirasi iluminasi dan desain berasal dari momolo (kubah mesjid khas Jawa
Barat), batik, ukiran mimbar dan artefak lain. Motif berbentuk binatang dan
bunga khas Jawa Barat. Motif tersebut antara lain dua buah motif teh, padi,
motif khas Banten, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Tangerang, Betawi, Indramayu,
Cirebon, Bekasi, karawang, Purwakarta Subang, Ciamis, Banjar, dan Tasikmalaya.
Jauh sebelum dicetknya
Mushaf Sundawi Jabar tersebut. Terlebih dahulu terdapat Mushaf Cirebon yang
masih tersimpan di keraton Cirebon. Mushaf Cirebon tersebut dengan iluminasi
menggunakan ukiran gambar bentuk Makhluk zomoorphic Macan Ali. Belakangan
dicetak juga Mushaf Sumedang dan Banten.
Hanya saja, cukup
disayangkan bahwa Mushaf Sundawi Jawa Barat dan Mushaf Cirebon kuno disimpan di
keraton atau di masjid atau Galeri Pusat Dakwah Islam tertentu sebagai simbol
Islam lokal. Tidak dicetak secara massif. Dan karenanya perlu ada gerakan
massif pencetakan Mushaf Cirebon kembali dan bukan sekedar untuk disimpan di
sebuah tempat keramat dan menara gading.
Meski Jawa Barat sudah mencetak mushaf khas dan sebagai identitas Islam lokal. Akan tetapi dirasa belum bisa mewakili secara keseluruhan daerah-daerah yang ada di dalamnya. Kita tahu bahwa wilayah Jabar bermacam-macam suku, di antaranya suku Sunda, Jawa, dan Betawi. Seperti Cirebon, Indramayu, dan Subang sebagian besar penduduknya adalah suku Jawa dan sebaian lagi Sunda. Karena itu jika mushaf Jabar adalah mushaf Sundawi, niscaya belum mewakili secara utuh Jawa Barat yang mengandung beragam suku itu. Di samping, bahwa dalam aspek keilmuan Islam merupakan sesuatu yang lumrah jika ada perbedaan pandangan dan capaiannya. Dalam persoalan al-Qur`an, misalkan, bisa jadi tanda baca al-Qur`an Jawa Barat dan al-Qur`an Cirebon ada perbedaan. Dan perbedaan menunjukkan sebuah kekayaan khazanah Islam tersendiri, dan bukan menunjukkan kelemahan tapi justru kelebihan.
Meski Jawa Barat sudah mencetak mushaf khas dan sebagai identitas Islam lokal. Akan tetapi dirasa belum bisa mewakili secara keseluruhan daerah-daerah yang ada di dalamnya. Kita tahu bahwa wilayah Jabar bermacam-macam suku, di antaranya suku Sunda, Jawa, dan Betawi. Seperti Cirebon, Indramayu, dan Subang sebagian besar penduduknya adalah suku Jawa dan sebaian lagi Sunda. Karena itu jika mushaf Jabar adalah mushaf Sundawi, niscaya belum mewakili secara utuh Jawa Barat yang mengandung beragam suku itu. Di samping, bahwa dalam aspek keilmuan Islam merupakan sesuatu yang lumrah jika ada perbedaan pandangan dan capaiannya. Dalam persoalan al-Qur`an, misalkan, bisa jadi tanda baca al-Qur`an Jawa Barat dan al-Qur`an Cirebon ada perbedaan. Dan perbedaan menunjukkan sebuah kekayaan khazanah Islam tersendiri, dan bukan menunjukkan kelemahan tapi justru kelebihan.
Cirebon bagaikan majma’
al-bahrayn (tempat bertemunya dua lautan), yaitu lautan Jawa dan Sunda. Dan
kedua tradisi dan kebudayaan ini tercermin dalam satu identitas tersendiri.
Namun, jika dilihat dari segi proses Islamisasi, maka Cirebon jauh lebih tua
dari daerah-daerah yang ada di Jabar lainnya. Bahkan Sunan Gunungjati, salah
satu walisongo, memilih Cirebon sebagai sentral dakwah Islam Jabar. Mushaf
Cirebon kuno yang dihiasi dengan iluminasi macan Ali, sebagai lambang bahwa
penyebar Islam di Cirebon, yaitu Sunan Gunungjati adalah seorang habib
keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan dengan
masuknya Islam, secara otomatis al-Qur`an pun secara bersamaan ikut masuk ke
Cirebon jauh sebelum Jabar. Karena itu, mushaf al-Qur`an Cirebon dirasa perlu
untuk dihidupkan kembali dengan dipoles menggunakan kesenian lokal khas daerah
dan dimodif sedemikian rupa diselaraskan dengan zaman.
Mushaf Cirebon harus
direproduksi dengan iluminasi khas Cirebon, seperti ukiran batik, sebagai seni
lokal, dan diracik dengan seni yang lain. Dan yang terpenting adalah tanda baca
yang jika memiliki ke-khas-an tersendiri harus ditulis atau ditorehkan dalam
mushaf tersebut. Kita tahu bahwa di Cirebon terdapat tanda baca yang khas.
Meski jika diruntut genealogi al-Qur`an atau silsilah sanadnya, Cirebon dan
daerah-daerah yang lain, seperti Yogyakarta dan Kudus, ada sambungan dan
tali-temali mengrucut pada satu guru. Akan tetapi sebagaimana umumnya dalam
tradisi keilmuan Islam, seperti bacaan al-Qur`an, setelah guru menyampaikan
pada murid-muridnya, maka ilmu bacaan al-Qur’an yang sampai pada murid-murid
akan berbeda-beda. Perbedaan para murid adalah wajar. Sebagaimana Nabi
mengajarkan bacaan al-Qur`an pada para sahabat, dan terjadi perbedaan antar para
sahabat. Sehingga sah-sah saja jika muncul mushaf Kudus, dan mushaf Cirebon.
Dan saat ini, kiranya cukup
signifikan jika dicetak mushaf Cirebon sebagai bacaan umat Islam Indonesia dan
dipasarkan secara massif, bila perlu diekspor ke luar negeri seperti Timur
Tengah. Sehingga, umat Islam Indonesia bukan hanya menjadi konsumen al-Qur`an
produk Timur Tengah. Tapi kita menjadi produsen al-Qur`an dan orang Arab Timur
Tengah menjadi konsumennya. Sebab, al-Qur`an tidak hanya milik umat Islam Arab,
namun juga milik umat Islam Indonesia, dan umat Islam Cirebon. Dengan kata
lain, al-Qur`an Cirebon untuk umat Islam sedunia. Wa ma arsalnak-a illa
rahmatan li al-‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar