Home| Pendidikan Islam | Sastra Muslim | Dunia Islam | Semiotika | Cross Cultural Understanding

Minggu, 20 November 2011

Radikalisasi Marak Karena Umat Islam Enggan Mengaji Al-Quran


     Kian maraknya fenomena radikalisasi pemikiran dan gerakan agama serta fenomena dekadensi moral dan karakter bangsa saat ini tidak dapat dipungkiri kembali. Suryadarma Ali, Menag RI, menyatakan, ""Karakter bangsa saat ini mengalami kemerosotan. Sikap amanah, perilaku baik, dan bertanggung jawab perlahan-lahan mulai pudar. Karena itu, anak-anak bangsa harus dididik sejak dini agar ke depan muncul generasi yang benar-benar baik". Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh karena masyarakat muslim, terutama anak-anak dan remaja mulai enggan mengaji dan mengkaji al-Quran di masjid, mushola atau surau. Bermula dari tidak berfungsinya (disfungsi) "rumah-tangga" sebagai pendidikan awal, termasuk pendidikan al-Qur'an, bagi keluarga, terutama anak-anak. Menag kembali mengatakan, ""Peran orang tua untuk menyuruh anaknya untuk mengaji di rumah setelah shalat maghrib sangat penting sekali. Sebab, ketika orang tua berkumpul dan bersama-sama anak di rumah, itu merupakan proses pendidikan karena ada transfer ilmu pengetahuan saat mereka berinteraksi,"
    Pernyataan Menag di atas menginsyaratkan bahwa aktivitas membaca, mempelajari, memahami, dan mengamalkan al-Qur'an di kalangan remaja muslim telah menurun. Indikator terhadap hal ini setidaknya dapat dibuktikan pada hal-hal berikut. Pertama, sedikitnya aktivitas anak-anak dan remaja membaca dan memahami di  rumah, mushalla, mesjid, pesantren, dan madrasah. Jika dibandingkan, anak-anak dan remaja yang sedang beraktivitas membaca dan mengkaji al-Qur'an pada saat maghrib dengan yang ada di Mall atau tempat keramaian, terutama di kota-kota, maka jumlah yang berada di Mall dll akan lebih banyak. Kedua, minimalnya tayangan religius pada media massa yang sesuai dan dapat dikonsumsi oleh kalangan anak-anak dan remaja. Ketiga, lembaga pendidikan Islam (mesjid, mushalla, madrasah diniyah, dan pesantren) mengalami penurunan fungsi dan peran, terutama dalam upaya untuk belajar membaca dan memahami al-Qur'an. Pertumbuhan TK/TPA telah berpengaruh banyak pada penurunan fungsi ini. Jika dibandingkan, TK/TPA memiliki fungsi dan peran yag berbeda karena umumnya TK/TPA hanya difungsikan sebatas belajar membaca (dan menghafal surat-surat pendek) al-Qur'an, atau hanya menyelesaikan "buku Iqra". Sedangkan, mesjid, mushalla, pesantren, mesjid, dan madrasah memiliki peran yang lebih dari TK/TPA.  
      
Gerakan Nasional Mengaji Ba'da Maghrib
 Salah satu upaya untuk meningkatkan kembali ghirah anak-anak dan remaja untuk kembali membaca dan mengkaji al-Qur'an, pemerintah menggulirkan gerakan nasional Mengaji al-Qur'an setelah maghrib. Gerakan ini dimaksudkan selain untuk hal tersebut, dimaksudkan pula untuk menumbuhkembangkan kecintaan masyarakat muslim, terutama kalangan anak-anak dan remaja, terhadap al-Qur'an. Kecintaan terhadap al-Qur'an ini diharapkan pula berdampak pada peningkatan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai al-Qur'an dari masyarakat muslim. Lebih lanjut, hal ini dimaksudkan pula untuk meredam gerakan radikal (islam radikal) dan pemikiran radikal (dan liberal) yang pada saat ini banyak ditunjukkan oleh  sebagian kalangan muslim.
 Menag, Suryadarma Ali kemudian mengarusutamakan "Gerakan Masyarakat Maghrib Mengaji" (GM3) dalam rangka mencegah munculnya ajaran sesat, radikal, dan liberal di Indonesia. "Gerakan Masyarakat Maghrib Ngaji dalam upaya menutup celah masuknya pikiran-pikiran atau ajaran sesat ke masyarakat, melalui gerakan ini diharapkan kekosongan dakwah bisa terisi, " kata Menteri Agama Suryadharma Ali dalam pertemuan dengan pimpinan Pondok Pesantren tingkat Jawa Barat di Jatinangor, Sumedang, Kamis (17/3/2011). Gerakan yang bagi sebagian besar sudah berjalan di kalangan masyarakat muslim itu, kata Menag merupakan upaya untuk meningkatkan upaya secara bersama dengan tujuan menutup peluang masuknya pikiran yang menyesatkan masyarakat.
Ia menyebutkan marak atau masuknya aliran sesat sebagian kegagalan masyarakat dimana di tengah masyarakat masih banyak orang membutuhkan dakwah.Kekosongan itu dimanfaatkan oleh sebagian golongan untuk memasukan pikiran-pikiran yang menyesatkan dan membuat kondisi kemasyarakatan tidak kondusif. "Tindakan preventif harus dilakukan, tingkatkan kemampuan dakwah dengan demikian tak ada celah masuknya ajaran sesat. Selama ini memang ada celah yang harus segera dibenahi," kata Suryadharma Ali.
Pada kesempatan sebelumnya (29/9/2011), Menag juga menyatakan, ""Giatkan belajar agama agar tidak bisa disusupi paham keagamaan yang sesat dan menyimpang," pada peletakan batu pertama Masjid Raya Tabuyung Al Musannif dan Serah Terima SMK kepada Pemkab Mandailing Natal di Desa Tabuyung Kecamatan Muara Batang Gadis di Sumatera Utara, Kamis. Ia menegaskan, "Oleh sebab itu, pemerintah daerah dan Kanwil Kemenag harus terus mensosialisasikan program GM3 ini," ucap Menag yang dalam sambutannya juga menyinggung enam program unggulan Kemenag. Yaitu, peningkatan kualitas umat beragama, pendidikan agama, kerukunan beragama, pelayanan haji, tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa, serta GM3.


"Fabrikasi" Mushhaf al-Qur'an Terjangkau sebagai Salah Satu Solusi  
      Menag Suryadharma Ali berharap, LPQ terus melakukan terobosan dan kemitraan dengan berbagai pihak dalam upaya memenuhi kebutuhan mushaf Al Quran yang merata dan terjangkau ke seluruh lapisan masyarakat Muslim seantero nusantara. "Dengan meningkatnya kebutuhan dan kepemilikan Al Quran di kalangan umat Islam, saya meyakini hal itu akan berdampak positif terhadap meningkatnya pemahaman umat terhadap ajaran Islam. Dan ini saya kira akan sangat positif untuk mengantisipasi maraknya fenomena kekerasan dan radikalisasi agama akhir-akhir ini," paparnya. Untuk itu diharapkan LPQ dapat meningkatkan mutu dan produktivitas pencetakan Al Quran yang mampu memenuhi kebutuhan mushaf Al Quran kepada seluruh lapisan masyarakat Muslim di tanah air dengan harga yang terjangkau atau di bawah harga pasar.  Menurut data Kemenag, dengan jumlah umat Islam di Indonesia sekitar 180 juta jiwa, maka kebutuhan mushaf Al Quran mencapai sedikitnya 36 juta eksemplar dengan asumsi setiap kepala keluarga diharapkan mempunyai minimal satu mushaf. "Hal ini merupakan salah satu tantangan besar yang harus dijawab oleh LPQ ke depan."
     Menag mengatakan, HUT ke-3 LPQ merupakan momentum bagi lembaga ini untuk meneguhkan dan memperkuat komitmen dalam pemberantasan buta huruf Al Quran di kalangan umat Islam terutama para anak-anak dan remaja. "Saya berpendapat bahwa pengertian buta huruf Al Quran tidak hanya terbatas pada buta baca tulis Al Quran, melainkan juga dalam pengertian buta isi atau kandungan Al Quran," paparnya. Untuk menjamin mutu pencetakan Al Quran dan menghindari kesalahan cetak, Menag berharap LPQ bekerjasama dengan Lajnah Pentashih Al Quran terus meningkatkan standar mutu tinggi dan pengawasan yang ketat, sehingga LPQ menjadi lembaga yang amanah dan kredibel serta menjadi rujukan utama dalam pengembangan pencetakan Al Quran tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia muslim lainnya.
      Direktur LPQ, Samidin Nashir mengatakan untuk menjadi lembaga penerbitan dan pencetakan Al Quran yang dibanggakan umat Islam Indonesia tentu masih memerlukan perjuangan dan kerja keras. "Sebenarnya kapasitas yang kami miliki dalam satu tahun bisa mencetak 1 juta eksemplar. Namun karena terterbatasan SDM, dalam tiga tahun ini kami baru mencetak Al Quran sebanyak 1.850.000 eksemplar," ucap Samidin.  Namun demikian lanjut dia, LPQ senantiasa menjaga mutu sehingga para klien merasa puas dengan jasa cetak yang diberikan. Selain dari jajaran Kemenag, tercatat beberapa pihak telah memanfaatkan jasa cetak LPQ antara lain Pemerintah provinsi Banten, mencetak mushaf Al Quran Al Bantani dengan total order 109.000 eksemplar, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur 10 ribu eksemplar, Kraton Yogyakarta 5.000 eksemplar mushaf Al Quran Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan yang lainnya.(ks)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar